Sambutan
Anton Kurnia
Direktur JILF dan Ketua Komite Sastra DKJ
Menjadi kehormatan dan kebahagiaan bagi kami Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk kembali menyelenggarakan Jakarta International Literary Festival (JILF) yang menandai peran Jakarta sebagai City of Literature (Kota Sastra) satu-satunya di Asia Tenggara dalam jejaring kota kreatif UNESCO. Tahun ini merupakan penyelenggaraan JILF yang keempat setelah yang pertama dihelat pada 2019. Pada gelaran kali ini, JILF berkolaborasi dengan Jakarta Content Week (JakTent).
Tema festival tahun ini, F/acta: Words and Actions Aligned on Eco-Literature, bukanlah cara pandang dikotomis yang memisahkan antara kata dan aksi. Sebab, kata yang dituliskan sebagai teks pada hakikatnya adalah aksi kreatif bagi para penulis dan sastrawan. Namun, tema kami lebih bermakna sebagai satu perspektif untuk menyelaraskan kata dan aksi dalam menanggapi fakta global terkait bumi yang kita huni.
Menurut para ahli geologi, bumi terbentuk dari matahari sekitar 4,6 miliar tahun lampau. Mula-mula bumi tak berkehidupan dan sebagian besar berupa lautan yang mengelilingi sebagian kecil daratan. Sekitar 3,2 miliar tahun silam bakteri sebagai makhluk hidup tertua mulai terbentuk di lautan. Kehidupan lain bermunculan, termasuk binatang-binatang purba yang kini hanya hidup dalam film dan komik. Lantaran suatu sebab yang misterius, sekitar 65 juta tahun silam seluruh kehidupan di muka bumi luluh lantak. Dinosaurus punah. Alam binasa. Kehidupan nyaris lenyap.
Seratus ribu tahun lalu lahirlah Homo sapiens pertama. Namun, makhluk bijaksana ini pulakah yang akan menjadi penyebab musnahnya kehidupan di bumi?
Dewasa ini krisis lingkungan hidup telah mencapai titik kritis. Pemanasan global dan perubahan iklim menunjukkan dampak buruk produksi kapitalistis terhadap alam. Modus produksi yang didorong oleh keuntungan sebesar-besarnya telah menjadi konsumsi energi yang berlebihan dan pemborosan. Kini kita terperangkap di zaman kalabendu Antroposen, sebuah era yang ditandai oleh dampak merusak manusia terhadap bumi dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Di sisi lain, kita menyaksikan bagaimana sejumlah karya sastra bermunculan menawarkan alternatif sudut pandang tentang cara “menciptakan” dunia yang lebih baik di tengah situasi ini.
JILF kami harapkan menjadi ruang terbuka untuk publik dalam mengeksplorasi cara pandang alternatif itu melalui serangkaian pertemuan, percakapan, diskusi, pertunjukan seni, pameran media, lokakarya, dan pesta buku yang menawarkan perayaan paripurna atas peran sastra dalam menanggapi krisis lingkungan hidup.
Saya ingin berterima kasih kepada tim JILF x JakTent yang telah bekerja keras selama berbulan-bulan dalam mempersiapkan gelaran festival yang berlangsung selama lima hari serta atas kerja sama yang terjalin baik. Terima kasih pula kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran festival, baik di dalam maupun di luar negeri, termasuk para penulis dan aktivis terkemuka yang hadir dari berbagai belahan bumi. Kami harap kehadiran Hiromi Kawakami, Naghmeh Nezami, Kateryna Kalytko, Isabel Fargo Cole, Zedeck Siew, Eka Kurniawan, Damayanti Buchori, Intan Paramaditha, Farwiza Farhan, dan segenap narasumber lainnya dapat mempertajam perbincangan kita tentang sastra dan isu lingkungan.
Terlepas dari tata dunia yang memang sudah telanjur kacau-balau dan timpang, saya berharap festival sastra yang mengangkat tema lingkungan hidup seperti festival ini dapat menyumbang secercah harapan bagi keberlanjutan bumi dan peradaban.