Jakarta International Literary Festival (JILF) menjadi ajang pertukaran yang bermakna antara penulis Indonesia dan internasional, serta menawarkan perspektif baru dari dunia sastra tentang isu-isu terkini. Mengusung tema “F/acta: Words and Actions Aligned on Eco-Literature”, festival tahun ini mengupas berbagai topik mendesak mulai dari krisis antroposen, eco-literature, hingga praktik-praktik berkelanjutan, yang menyediakan ruang kreatif untuk menata kembali masa depan bersama kita.

Sebuah festival adalah sebuah perayaan. Dalam konteks festival sastra—sebagaimana Jakarta International Literary Festival (JILF)—kami merayakan keragaman ekspresi kesusastraan dan pemikiran yang bergerak di sekitarnya. Kami merayakan munculnya bakat-bakat baru dalam skena sastra hari ini, juga bagaimana kaum sastra—kaum intelektual secara keseluruhan—mendiskusikan isu-isu yang berkembang dalam skena kesusastraan, juga isu-isu di luar sastra yang memberi pengaruh pada kesusastraan. Kami juga merayakan pertemuan, sebab ide-ide itu datang tak hanya dari lingkungan pergaulan yang sudah kami akrabi selama ini, tetapi juga dari negara-negara tetangga, mereka yang jauh, tetapi sebenarnya dekat di hati.

JILF adalah festival sastra yang diselenggarakan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam menanggapi arus kesusastraan kontemporer yang bergerak begitu cepat dan menandai Jakarta sebagai kota sastra, kota festival, yang setara dengan kota-kota besar di dunia saat ini. Dengan festival ini Jakarta mencoba menjadi pusat perhitungan bagi kesusastraan Indonesia dan dunia yang tengah berkembang dan bagaimana karya sastra bereaksi atau melibatkan diri ke dalam isu-isu kontemporer yang tengah menjadi pembicaraan hangat di antara kita. Dengan pemosisian ini, JILF pada akhirnya tak sekadar sebuah festival sastra, tetapi juga sebuah komitmen bersama dalam menghadapi dunia yang tengah berubah dan terancam oleh banyak persoalan.

“Krisis Antroposen” adalah soal penting yang kini terjadi di dunia kita hari ini. Manusia yang terlanjur mendaku dirinya sebagai pusat semesta, kini harus menanggung akibat dari pendakuan itu dan perlakukan semena-mena manusia terhadap alam. Alam tidak sepenuhnya bisa ditundukkan, tetapi alam juga bisa melawan dengan caranya sendiri, mulai dari bencana iklim yang terjadi di sekitar kita hingga kerusakan lingkungan yang membuat manusia harus berupaya keras menyelamatkan bumi yang terkasih ini. Manusia pada akhirnya tak lagi pusat perhitungan, tetapi hanyalah salah satu anasir alam yang bisa punah. Namun, justru dari manusialah upaya penyelamatan lingkungan itu, ekosistem kehidupan kita, bisa dimulai.

JILF adalah sebentuk komitmen bersama kita dalam membicarakan kembali posisi penting dan genting kesusastraan. Di dalam forum-forum festival ini kita menimbang kembali otonomi kesusastraan dan bagaimana kesusastraan terlibat, seni terlibat pada umumnya, memainkan peran penting dalam memperjuangkan bumi sebagai tempat yang lebih layak huni dan memberi harapan berkelanjutan kepada kehidupan manusia. Sastra, pada akhirnya, harus ditempatkan dalam posisinya sebagai kekuatan sosial yang bisa menggerakkan perubahan kepada yang lebih baik. Sastra—yang menyandarkan dirinya pada kekuatan kata-kata—kini hadir sebagai sebuah suara bersama dalam menyelamatkan bumi dan alam semesta dari ancaman kehancuran yang sudah di depan mata.

Apakah kita akan berhasil?

Pertanyaan itu sebenarnya bukan melulu untuk menguji kembali posisi ontologis sastra sebagai bahasa universal manusia beradab, tetapi juga untuk melihat kembali keterkaitan kesusastraan dengan seni dan kekuatan lain yang punya perhatian dan komitmen yang sama. Bersama-sama dengan kekuatan lain itu, kesusastraan kita menempatkan dirinya secara baru sekaligus kritis. Kita menguji daya tahan sastra sekaligus mendorongnya kepada posisi yang lebih politis, bukan hanya sekadar seni kata-kata yang telah membentuk budaya adiluhung manusia, tetapi juga kekuatan praksis kata-kata dalam memberi penyadaran dan menggerakan dinamika sosial masyarakat. Kita menghadapkan kesusastraan pada situasi yang lebih praktis, tanpa berusaha menghilangkan segi-segi kontemplatifnya yang telah menjadikan manusia pelaku sebagai makhluk penuh kebijaksanaan.

Bersama dengan kaum sastra dari negara tetangga dan negara lain yang mengikat kerja sama dalam festival ini, kami mendiskusikan pelbagai topik yang relevan dengan tema besar festival “F/Acta: Words and Actions Aligned on Eco-Literature”. Kami bukan hanya bersepakat pada kekuatan sastra sebagai seni kata-kata yang telah memberi nilai penting pada peradaban manusia sejak sastra ditemukan, tetapi juga kami bersilang pendapat akan kenyataan-kenyataan yang tengah terjadi. Perbedaan pendapat dalam forum-forum diskusi di festival ini harus dilihat sebagai kekayaan wacana yang penting untuk dihargai dan menjadi bukti dari kemajuan berpikir kita dalam melihat kaitan sastra dengan isu-isu sosial-politik dan lingkungan yang terjadi di sekitarnya.

Festival ini juga mengedepankan kolaborasi sebagai prinsip kerja yang menjadi keharusan dalam kehidupan kita sekarang ini. Dengan kolaborasi kami menemukan kekuatan yang tidak kami miliki dan kami belajar untuk menyempurnakan diri—untuk mempertegas dominasi antroposen yang sebenarnya kami kritik juga—sebaliknya kami juga membawa hal-hal penting yang ada pada kami menjadi bagian pengetahuan bersama. Dalam festival ini, kami hadirkan peneliti di bidang sains, pegiat lingkungan hidup dan masyarakat adat, jurnalis yang fokus pada isu-isu perubahan iklim dan lingkungan hidup agar terjalin pertukaran informasi dan pengetahuan dengan para penulis sastra. Semoga dialog ini menjadi awal dari kerja sama yang lebih erat antara kelompok-kelompok yang jarang berdiskusi dalam satu forum. Kolaborasi pada akhirnya mendorong kami, kita, kesatuan kita sebagai warga dunia, bangsa-bangsa yang masih memberi nilai penting kepada kesusastraan dalam kehidupan yang makin kehilangan pesona ini. Kita sama-sama memberi nilai penting pada kesusastraan sebagai kekuatan bersama, bahasa universal kita sejak dahulu kala.

Kepada pihak-pihak yang mendukung festival ini, kami mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan selama ini. Kepada negara-negara sahabat yang yang terlibat dalam festival ini, kami ucapkan selamat datang di Jakarta International Literary Festival 2024. Semoga festival kita kali ini mencapai hasil yang terbaik dan mendorong kemajuan kesusastraan di negara kita masing-masing. Selamat menikmati festival.