Kota Kita di Dunia Mereka

Abidin Kusno

(Indonesia)

Terima kasih bapak-bapak, ibu-ibu, dan teman-teman yang telah mengundang saya untuk berpartisipasi dalam festival ini. Sungguh suatu kehormatan!

Topik yang disajikan juga amat menarik, yaitu “Our City in Their World: Citizenship, Urbanism, and Globalism.” Baik, saya mulai dengan pemaknaan pada judul ini. Kata “our” dan “their” menyajikan sebuah posisi, mengundang kita untuk memaknai siapa “our” itu, siapa “their” itu? Tidak gampang ya, karena isi, bentuk dan relasi dari kota itu majemuk, dan pemahaman kita juga beragam. Di samping itu, antara “kota kita” dan “dunia mereka” tidaklah selalu oppositional, sering bisa overlap, tumpang-tindih, sehingga garis yang memisahkan “kita” dan “mereka” sering kabur.

 

I.

Meskipun demikian, proposisi “kota kita dalam dunia mereka” itu adalah sebuah titik berangkat yang penting untuk membangun critical inquiry. Bila kita mengambil the “world as the unit of analysis” (Immanuel Wallerstein), maka kita bisa mengacu pada beberapa literatur, misalnya Anthony D. King’s Urbanism, Colonialism and the World-Economy: Cultural and Spatial Foundations of the World Urban System yang melihat pengaruh kolonialisme dan kapitalisme terhadap sistem urban dunia. Atau Mike Davis yang menunjukkan bagaimana capitalist urbanization itu menghasilkan “planet of slums” yang ia duga suatu saat akan disambut dengan “urban revolt” atau “urban explosion” (Lefebvre).

Kajian-kajian skala dunia ini memperlihatkan bagaimana “kota kita” di kolonialisasi oleh sistem geo-politik dan ekonomi dunia dari masa dulu hingga masa sekarang. Kajian-kajian ini juga beranggapan bahwa “kota kita” adalah korban dari “dunia kolonialisme & kapitalisme”. Jadi hubungan antara “kota kita” dan “dunia mereka” bersifat oposisi biner. Sehingga ada suatu aspirasi untuk melawan dengan melakukan “de-link” dari sistem politik ekonomi kapitalisme dunia.

Ngomong-ngomong “linking & delinking” mengingatkan kita pada karya-karya Manuel Castells dari The Rise of the Network Society, hingga The Power of Identity dan The Informational City. Pendekatan Castell adalah oposisi biner dari “the net/mereka dan the self/kita.” Jadi seluruh kehidupan sosial kita terperangkap dalam sebuah jaringan network yg impersonal, dan self (diri kita) adalah produk dari jaringan net. Castells tidak melihat kemungkinan de-link, dan reaksi dari “self” pun sering mengambil bentuk “selfexpression” identitas (termasuk politik identitas), yang baginya bukanlah jalan keluar.

Kerangka “kita” melawan “mereka” ini cukup produktif, karena mengingatkan kita pada dominasi dunia politik, ekonomi dan teknologi pada kehidupan kota kita. Tapi kerangka oposisi biner ini sering juga reduktif karena mengesampingkan kehidupan urban yang tumpang tindih, yang tidak bisa secara jelas memisahkan “kita” dari “mereka.”

 

II.

Belakangan ini muncul kajian-kajian kota yang berupaya untuk melepaskan diri dari kerangka oposisi biner. Kajian yang dipengaruhi studi pasca-kolonial ini melihat kota bukan hanya sebagai korban politik dan ekonomi kapitalisme, tapi sebagai arena untuk memperjuangkan hak sebagai warga kota dan negara (citizenship).

 

Karya-karya James Holston, Gyan Prakash Ananya Roy, Ong Aihwa (yang mengangkat tema kota-kota Dunia Selatan) mengangkat agensi dari warga kota dan melihat kota sebagai tempat di mana warga negosiasi dengan struktur kekuasaan. Bagi mereka, kapitalisme membawa petaka tapi relasi kapitalisme tidak akan bisa di-de-link. Yang bisa dilakukan hanyalah menghadapinya secara kritis.

Dan bagi mereka relasi kekuasaan kapitalisme hanyalah satu di antara relasi-relasi kekuasaan yang mendominasi kehidupan rakyat. Ada struktur-struktur dominasi lainnya (seperti tradisi, agama, patriarki, rasisme) yang saling berkait karena itu sebuah resistensi pada satu dominasi bisa bisa memperkuat relasi kekuasaan yang lain.

Studi pasca-kolonial melihat relasi kekuasaan bukan dari oposisi biner tapi dari negosiasi demi kepentingan masing-masing dengan hasil yang tidak bisa diprediksi.

 

III.

Sudah ya teori-teori. Sekarang saya beri sebuah contoh dari sejarah urban Indonesia untuk menjelaskan lebih lanjut pendekatan yang bebas dari oposisi biner. Waktu saya melihat tema “our city in their world” saya teringat sebuah studi dari Tsuyoshi Kato, Indonesianis Jepang yang mengkaji novel-novel Indonesia di awal abad 20 di zaman Hindia Belanda. Tsuyoshi mengatakan bahwa kota berperan penting dalam membangun kesadaran baru bagi generasi muda Indonesia.

Perubahan itu tidak bisa dikontrol oleh pemerintah kolonial. Tsuyoshi berargumen bahwa di kotalah para pemuda dan pemudi mengembangkan rasa merdeka yang berkembang dari kepentingan individual menjadi kepentingan kolektif. Kita bisa menambah bahwa rasa merdeka individual itu adalah cikal bakal munculnya kesadaran baru–imagined communities melawan sistem penjajahan Belanda.

Para pemuda/i itu terpesona pada kehidupan kota karena ia bersifat “modern”, supralocal, terapung dan bebas, tidak terikat norma lama (atau “desa”). Urban modernity inilah yang akhirnya mewarnai sebuah “zaman baharu”, zaman kota, generasi kota, dan politik kota dan menjadi konteks dari munculnya sebuah era yang dikenalkan sebagai “zaman pergerakan” (Takashi’s Age in Motion).

Novel-novel yang dikaji Tsuyoshi menunjukan tema: 1. Love and freedom; 2. Pertanyaan “siapa saya”; 3. Pendidikan modern; 4. kalender dan waktu Barat. Terakhir dia menambah “uang” sebagai kata kunci dari novel-novel di atas.

Tsuyoshi berargumen bahwa sebelumnya orang yang terjajah menyebut dirinya “hamba,” tapi setelah pengaruh modernitas urban, mereka mulai menyebut diri mereka dengan kata “saja/saya.” Menjadi saya adalah menjadi orang kota. Menjadi saya berarti melepaskan diri dari hierarki tradisional dan kolonial. “Saya” merupakan ancaman bagi kekuasan kolonial.

Kita jadi ingat buku karya Rudolf Mrazek (Engineers of Happy Land) yang mengetengahkan Marco Kartodikromo sebagai seorang dandy yang berpakaian barat dan suka tampil di jalan, ber promenade sambil membayangkan rasa merdika. Ia melintas budaya, melintas “dunia” (men-worlding) sehingga ia mengaburkan garis yang memisahkan dunia penjajah dan yang terjajah.

Dengan kata lain, ia menipiskan jarak antara “kita” dan “mereka” (sebuah konstruksi kolonial) melalui promenade di kota. Karena ia bisa melihat dari dua (atau tiga) dunia, ia terus mengritik ketidakadilan sosial yang tercermin dalam struktur ruang kota. Akhirnya Marco dibuang pemerintah kolonial ke Boven Digul dan meninggal di sana. Di zaman itu orang seperti Marco yang bisa melintas ruang atau menjalin ruang dianggap membahayakan tatanan sosial kolonial.

Dari kajian kota Tsuyoshi, Mrazek dan Shiraishi kita jadi mengenal kota (meskipun dalam konteks kolonial) sebagai arena di mana identitas baru bisa terbentuk. Kota bentukan kolonial bisa menjadi sumber anti-kolonial.

 

IV.

Sekarang saya ingin loncat ke masa kita (melewati setengah abad masa kemerdekaan–termasuk era transformasi kota oleh Sukarno, Ali Sadikin dan gubernur di masa Suharto, dan pasca Suharto yang membangun promenades), untuk ikut diskusi sebuah fenomena promenade yang cukup banyak dibicarakan, yaitu: Citayam Fashion Week.

Seperti yang telah diutarakan promenade: “the observer’s pathway through the built space” itu sangat menarik perhatian pada pemuda/pemudi (termasuk) revolutionary dandies seperti Marco Kartodikromo untuk tampil di zaman Hindia Belanda, tapi promenade Citayam Fashion Show itu ada di era yang berbeda: dalam era digital.

Kalau kita tanya Manuel Castells tentang pemuda/pemudi Citayam Fashion Show, ia akan bilang mereka adalah the self yang masuk dalam the net (ingat oposisi biner dari “the net and the self” Castells)–di mana the self itu hanya bisa tampil dalam bentuk struggle for identity yang juga adalah produk dari the net.

Yang menarik dari contoh Citayam Fashion week adalah paduan antara the physical and the virtual world, bahwa ternyata antara the net and the self itu ada ruang fisiknya. Ambil contoh stasiun Dukuh Atas. Para anak muda/mudi dari Citayam yang “kembali ke kota” (berkat jaringan transportasi yang mulai memadai) memilih Dukuh Atas sebagai promenade karena itu adalah “stasiun transit” yang latarnya adalah skyline Jakarta, sehingga promenade itu memberi penampilan “global urban modernity” yang pas untuk kamera: [“karena banyak gedung-gedung, jadi bikin potongan lebih menarik.”]. Jadi kelihatan di sini pengaruh dari dunia kamera digital terhadap pembentukan identitas diri; tapi the physical world ini juga menggantungkan diri pada the virtual world untuk mendapat efek.

Citayam Fashion Show ini sudah banyak dibahas dengan baik oleh rekan-rekan di Indonesia, dan dalam kesempatan ini saya hanya mampu bahas dua artikel/pendapat: yang pertama adalah ulasan Robertus Robet di majalah Tempo; dan yang kedua adalah ulasan Asri Saraswati untuk media Melbourne Indonesia.

Dalam artikel di Tempo, Robertus Robet menarik konsep “theatre mundi” (yang dikembangkan oleh Richard Sennett) untuk menunjukkan bentuk ideal sebuah kota di mana warganya menjadi aktor di kota/theatre tersebut. Robertus mengatakan dua hal yang penting:

1) Bahwa penampilan generasi muda dari pinggiran kota itu membawa civilization theatre mundi ke kota;

2) Bahwa Citayam Fashion Show yang menjadi popular itu berpotensi untuk mengobati luka-luka kota: “menghapus batas-batas kaku antara jalan dan panggung, antara seniman dan orang biasa, antara anak Jakarta dan anak daerah, serta antara yang kaya dan yang kere.”

Namun Bagi Asri Saraswati gap antara yang powerful dan powerless tepatlah ada meskipun di promenade gap itu tidak kelihatan. Penampilan “aktor” hanya terjadi di panggung, tapi tidak di kehidupan sehari-hari. Pemanggung dari Citayam Fashion Show justru menunjukkan ketimpangan power relation yang terjadi di bawah panggung. Asri bertanya: sejauh apa transformasi identitas tersebut?

Dari Asri kita belajar bahwa penampilan pemuda-pemudi adalah aktor “sementara” di theatre mundi. Setelah turun dari panggung realitas materi mereka tidak banyak berubah. Foto dan video bisa lama menyimpan aksi mereka tapi itupun akan “terkubur” dalam basis data yang berkembang–kecuali beberapa yang berhasil dipasarkan. Saat semua orang (termasuk kelas atas dan para gubernur) ikut berpromenade, maka Citayam Fashion Show menjadi milik semua dan hilang dimensi kelas dan sejarah dari gerakan ini. Saat para Gubernur mempromosikan Citayam Fashion Show (sebagai bagian dari hasil karya kotanya) maka kaburlah garis yang memisahkan populist politics dan popular culture.

Bila ber-promenade di kota Hindia Belanda bisa menampilkan pemuda/pemudi yang menggetarkan struktur kolonial, tidaklah demikian halnya dengan zaman sekarang. Bila Marco Kartodikromo mendobrak pemisahan antara “kita” dan “mereka” melalui cross over itu mengganggu tatanan colonial, apakah promenade zaman sekarang mengganggu relasi kekuasaan?

Citayam Fashion Show sempat mengundang reaksi dari yang merasa terganggu karena penyalahgunaan ruang publik. Pemerintah kota berusaha untuk mengatur dan memindahkan festival itu ke tempat yang katanya lebih aman. Sementara kelompok konservatif mempermasalahkan penampilan-penampilan yang dianggap kurang pantas. Semua ini mengingatkan kita pada masa kolonial yang melihat tampilan-tampilan di promenade itu melewati batas-batas order dan hierarki, tapi apakah promenade dari Citayam Fashion Show menghadirkan kembali sebuah gerakan kota? (Seperti di zaman pergerakan?)

 

KATA AKHIR:

Kota kolonial and pasca-kolonial itu adalah produk sosial. Masyarakat ikut berpartisipasi di dalamnya. Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa ruang kota diproduksi menurut kepentingan penguasa politik dan ekonomi. Ini yang mungkin dimaksudkan oleh judul di festival ini sebagai “kota kita di dunia mereka.” Namun kita juga bisa ikut membangun “dunia bersama” melalui critical thinking, aspirasi, imajinasi dan kreativitas yang berangkat dari pengalaman individual dan kolektif di kota. Namun pertanyaannya adalah sejauh mana kota pasca-kolonial kita mampu menghadapi krisis sosial dan lingkungan yang semakin terasa di kota kita.

 

Selamat berfestival, teman-teman. Terima kasih!