Pada 28 November, Forum Penulis pertama dimulai dengan “Cukup Sudah: Sastra di Tengah Krisis Antroposen”, yang membahas urgensi krisis lingkungan dan sosial kita. Sesi ini mengeksplorasi peran sastra dalam memicu tindakan melawan perubahan iklim, perebutan wilayah, dan konflik regional. Kemudian, “Menerjemahkan Ilmu Pengetahuan dan Menjangkau Publik: Cara Menavigasi Era Pasca-Kebenaran” menyoroti tantangan dalam menjembatani kesenjangan antara ilmuwan, penulis, dan masyarakat luas, dengan mengadvokasi narasi lingkungan yang lebih inklusif dan mudah diakses.
Pada 29 November, forum membahas sastra ekologi dengan tema “Tentang Sastra Ekologi: Apa Itu dan Apa yang Bukan Itu?”, yang mempertanyakan definisi genre yang terus berkembang dan wawasan lingkungannya. Rangkaian acara berlanjut dengan “Terusir!: Suara-suara Kaum Pinggiran” yang mengangkat kisah-kisah masyarakat adat dan terlantar yang bergulat dengan eksploitasi ekologi. Sementara, “Imajinasi Radikal: Mungkinkah Dunia yang Lebih Baik Terwujud?” menyerukan ide-ide yang berani dan transformatif dari para penulis untuk membayangkan masa depan yang adil dan berkelanjutan.
Pada 30 November, forum ini menyoroti penceritaan regional dengan tema “Berbagi dan Berseru: Kisah-kisah dari Asia Tenggara” yang menyediakan ajang bagi para penulis dan insan literasi Asia Tenggara untuk membahas tantangan dan peluang dalam menyuarakan pendapat mereka secara global. “Menulis di Tengah Dunia yang Membara: Apakah Kata-kata Masih Bermakna?” membahas peran penting sastra dalam menghadapi krisis iklim. “Perjuangan Tanpa Henti: Cara untuk Tidak Pernah Menyerah” menyelidiki hubungan antara kelas, gender, ras, dan perjuangan lingkungan, mengeksplorasi ketahanan yang dibutuhkan untuk menavigasi kompleksitas ini.
Hari terakhir, 1 Desember, menawarkan sudut pandang yang lebih optimis dengan “Menabur Harapan: Memantik Percikan dalam Kegelapan” di mana para penulis dan jurnalis membahas seni memelihara harapan di tengah keputusasaan. Festival ini ditutup dengan “Sastra sebagai Pijakan Bersama: Menulis untuk Solidaritas” yang merayakan akar komunal sastra dan potensinya untuk menumbuhkan solidaritas, rasa memiliki, dan perlawanan terhadap struktur kapitalis.